EXHIBITION



KYRELOGY - the Exhibition of Oky Rey Montha

KYRELOGY
the # 2 exhibition of OKY REY MONTHA
Galeri Canna
Jakarta
13 - 27 maret 2011


Menyambut Pameran Oky Rey Montha

Jim Supangkat

Karya-karya Oky Rey Montha menunjukkan ungkapan yang menggunakan bahasa komik  yang paralel dengan perkembangan komik ke graphic novels di mana peran gambar menjadi lebih besar dalam membawa cerita sementara peran teks dikurangi secara drastis.
Dalam esei, “The Multilayered Nature of Manga Expressions” yang dimuat dalam katalog, Manga Realities – Exploring the art of Japanese Comics Today (2010)kritikus/ psikolog  Saito Tamaki mencoba mengkaji dasar-dasar bahasa gambar komik yang sampai kini belum banyak dikaji. Dua kajiannya yang bisa digunakan untuk memahami penggunaan bahasa gambar komik pada karya-karya Oky adalah komik sebagai ekspresi emosi, dan, makna yang berlapis-lapis pada komik.[*]
Pengamatan Tamaki tentang komik sebagai ekspresi emosi sebetulnya berpangkal pada fenomena komik yang sudah umum diketahui namun tidak disadari. Seperti film dan teater, komik adalah narasi yang ditampilkan melalui dinamika emosi tokoh-tokohnya (pengambilan gambar close up dalam film dan dramatisasi actingpada teater adalah upaya menampilkan ekspresi emosi ini).  Berkaitan dengan ekspresi emosi, Tamaki melihat pentingnya  kedudukan wajah dalam komik di mana komik menampilkan watak, attitude dan mind set. Maka garis-garis yang membentuk wajah dalam komik tidak cuma menampilkan ekspresi emosi. Garis-garis ini diolah juga untuk menunjukkan watak. Karena itu gambar-gambar tokoh pada komik dekat dengan karikatur.
Karya-karya Oky menunjukkan gejala itu. Narasi pada karya-karyanya tampil melalui pengutamaan gambar wajah dan ekspresi emosi pada wajah-wajah ini. Oky menggunakan gambaran dirinya dan gambaran kekasihnya untuk mengisahkan cerita kelam dalam perjalanan hidupnya. Pada gambar-gambar ini bisa dilihat dengan jelas, tekanan dan pengolahan garis yang menampilkan watak dan ekspresi emosi.
Pemikiran Tamaki tentang makna yang berlapis-lapis pada komik juga berangkat dari persoalan yang sudah umum diketahui. Tamaki mengemukakan bahwa gambar komik yang mengandung eksrepsi yang berlapis-lapis menunjukkan realitas pada komik yang berlapis-lapis pula. Lapisan-lapisan realitas pada komik tercermin antara lain pada balon bicara. Balon bicara yang menunjukkan dialog, misalnya, merupakan gambaran realitas aktual. Sementara balon bicara yang menunjukkan angan-angan, kesan dan kata-kata dalam hati merupakan gambaran realitas yang lain yaitu dunia personal.       
Gejala itu terlihat juga pada karya-karya Oky. Narasi pada karya-karyanya tidak menerapkan sekuen gambar seperti pada komik dan graphic novels. Narasi ini tampil pada satu bidang gambar. Karena itu ia mengaktifkan lapisan-lapisan ekspresi sebagai ganti sekuen gambar dalam membangun narasi. Tidak ada point of intereset pada kebanyakan karya Oky. Di sebaliknya karya-karya ini terkesan riuh karena berbagai ekspresi seperti “berteriak” bersamaan. Cerita pada karya-karya ini seperti tersembunyi. Namun karya-karya ini bisa dibaca.
Pembacaan karya-karya Oky menunjukkan secara mendasar bagaimana ungkapan yang menggunakan bahasa komik seharusnya dibaca.  Pembacaan karya-karya ini memerlukan mata yang aktif. Mata yang selalu ingin tahu. Mata yang melakukan eksplorasi untuk menangkap berbagai gejala visual yang mempesona, yang menarik perhatian, yang tidak lazim, atau, mengandung informasi yang tidak segera terbaca. Image yang muncul dari pertemuan dengan gejala visual ini mudah dikenali dan kemudian dipahami maknanya karena gejala visual pada ungkapan yang menggunakan bahasa komik ini, maupun image yang terbentuk pada pelihat, sama-sama dipengaruhi budaya yang didominasi dunia visual yang disebut-sebuit sebagaivisual culture yang sekarang ini sedang menggantikan budaya yang dibentuk dunia teks.  

Jim Supangkat




[*]Katalog Pameran Manga Realities – Exploring the art of Japanese Comics.Contemporary Art Centre, Mito Art Tower. August-September 2010. Hal.188-198


evorah I evil of rabbit head I # 1 the exhibition of oky rey montha

EVORAH
evil of rabbit head
the exhibition of OKY REY MONTHA
tujuh bintang art space
yogyakarta
1 - 13 april 2010


Toksoid Kyre
Suwarno Wisetrotomo

Kau tau tentang racun? Pasti! Bahkan di dalam tubuhmu, juga tubuh kita semua, bersemayam racun akibat dari pola dan gaya hidup kita hari ini; lingkungan, udara, makanan yang masuk ke tubuh kita. Seberapa jauh racun itu terkelola dengan baik atau tidak, tentu tergantung kualitas kesehatan ginjal. Dalam terminologi ilmu kimia, racun dijelaskan sebagai berikut, “zat yang mengubah metabolisme yang normal dari organisme yang merugikan kesehatan dan dapat mematikan bila sedikit zat ini dimakan atau bersentuhan dengan organisme itu”. Racun disebut pula toksin.
Racun mendatangi tubuh kita dari manapun dan dari sumber apapun. Dalam tubuh Kyre, saya duga juga dalam jiwa dan pikirannya, terdapat gugusan toksin atau racun, yang mula-mula datang dari luar dirinya, dan kemudian, sadar atau tidak, diproduksi oleh tubuh dan jiwanya. Seserius itukah? Tentu saja, Anda atau kita semua boleh menyangsikannya.
Oh ya, siapakah Kyre? Dia perupa muda yang gelisah, yang memiliki nama unik Oky Rey Montha Bukit a.k.a Kyre Tempatkencink. Perhatikan nama sapaannya itu, kelihatan bengal ya? Orang muda ini dilahirkan di Yogyakarta, 3 Januari 1986, tetapi tumbuh dan besar di Kabanjahe, Sumatera Utara, sampai akhirnya kembali lagi ke Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Minat utama yang diambil Desain Komunikasi Visual. Hobinya membaca dan membuat komik. Ia membuat komunitas yang diberi nama Tempatkencink Visual Art Comunity Yogyakarta, yang (secara narsis...!) menerbitkan buku komiknya sendiri dengan judul “One Day Mystique 2009” – Kyre Illustration pocket book (2009). Dalam buku itu, Kyre menulis pengantar pendek (ia menyebutnya INTRO – setali tiga uang), antara lain mengatakan, “Apa yang dicari setiap orang ketika udara yang bersimpang siur di dalam tubuhnya masih dapat berrotasi dengan sempurna? Sel-sel darah merah masih bergejolak, syaraf-syaraf otak masih berfungsi sebagaimana mestinya? Bohong kalau dia tidak mencari sebuah kenikmatan. Kaya raya, terkenal, uang, kedudukan, bahkan menenggak sebotol anggur cap orang tua pun adalah sebuah bentuk kenikmatan yang dicari manusia. Salah satu bentuk kenikmatan lain yang lebih sial adalah fantasi. Kebiasaan berfantasi dapat menimbulkan berbagai macam efek samping yang kadang merugikan makhluk-makhluk di sekitarnya”. Saya kira tulisan itu lebih menunjukkan endapan bawah sadar Kyre dalam memahami perilakunya sendiri. Setidak-tidaknya adalah problematika, bagaimana ia memamahi dirinya sendiri, terkait dengan urusan gelegak fantasi, memori rasa sakit, amarah, dan upaya membebaskan dirinya dari kepungan kisah yang menikam-nikam.   
Saya baru bertemu muka dan ngobrol dengan Kyre dua kali. Cara dan gaya bicaranya pelan, sering tampak ragu-ragu, juga tampak menyimpan banyak kisah yang (sepertinya) tak membuatnya nyaman (itu yang saya sebut sebagai “kisah yang menikam-nikam”). Dia juga bilang, agak nervous ketemu saya (mungkin itu yang membuatnya bicara pelan dan tak begitu mengalir?). Namun toh, akhirnya Kyre bicara juga, terutama menjawab sejumlah kesangsian dan pertanyaanku (sebenarnya bukan pertanyaan, tetapi lebih sebagai upaya melakukan konfirmasi-konfirmasi, sembari melihat karya-karya lukisannya).
Inti kisah, Kyre di masa lalunya, masa kanak-kanak dan remaja, sewaktu masih tinggal di Medan, berada dalam situasi ‘di bawah tekanan’ kedua orang tuanya. Maksud orang tuanya, tentu, mengajari Kyre (sebagai si sulung) untuk kerja keras, memberikan contoh, dan bertanggungjawab atas kedua adiknya. Akibatnya, waktunya habis untuk merawat kelinci-kelinci piaraan adik atau keluarganya, juga habis untuk mengurus sebagian pekerjaan rumah tangga. Ia merasa tak memiliki waktu untuk bermain lepas, seperti halnya anak-anak seusianya. “Hanya seperti itu, kau sudah merasa tertekan dan depresi?” saya menyergah memotong ceritanya (dalam hati, saya menyimpan kata yang lebih tajam, tapi tak terucapkan, tepatnya prasangka, yakni, “cengeng amat kau...!”). Kyre seperti tergagap, kemudian melanjutkan, “aku sering diperlakukan kasar oleh orang tuaku....!”. “Oh.... sory” jawab saya cepat. Ia juga mengatakan, bahwa betapa terbatasnya komunikasi yang terbangun antara dirinya dengan orang tuanya. Kata kunci dari kisahnya adalah “perlakuan kasar”, dan kemudian membekas mengiringi pertumbuhan – tubuh dan jiwa – dirinya.
Kata kunci itu cukup jelas. Maksudku tak perlu diurai detailnya, dan sudah bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami Kyre dan karya-karyanya, juga aktivitas-aktivitasnya.     
Apakah Kyre, melalui karya-karyanya, tengah mempersoalkanmind, body, soul; pikiran, tubuh, dan jiwa? Mengapa karya-karya Kyre begitu ornamentik dengan warna-warna menyala, padahal seluruh karyanya bertolak dari kisah getir masa lalunya? Itulah pertanyaan saya, mungkin juga pertanyaan kita, ketika berhadapan dengan karya-karya Kyre.
Estetisasi Toksin
Toksoid: toksin yang telah kehilangan sifat-sifat toksinnya sebagai akibat dinaturasi atau modifikasi kimia, namun sifat-sifat antigennya masih dipertahankan.
Pameran tunggal Kyre yang pertama ini bertajuk “EVORAH (Evil of Rabbit Head)”. Tajuk ini juga digunakan sebagai judul sebuah novel debutan karya Sukma Swarga Tiba (sssst... dia pacar Kyre....!), 33 halaman kwarto, yang kisahnya juga bertolak dari riwayat hidup Kyre. Kira-kira, novel ini berbasis kisah nyata, yang diolah dan diramu menjadi beraroma fiksi. Lalu, bagaimana hubungan antara novel dengan lukisan-lukisan Kyre? Yang pasti, keduanya bertolak dari sumber yang sama, dan dikreasi oleh orang yang berbeda. Bisa terhubung, bisa juga (dianggap) terpisah. Maksud saya, setidak-tidaknya sampai hari ini, mereka yang membaca novel Sukma dan berupaya mengerti, tak harus mengamati karya-karya lukisan Kyre sampai paham. Demikian pula sebaliknya, mereka yang mengamati dan berupaya mengerti karya-karya Kyre tak harus membaca novel Sukma. Maksud saya berikutnya, bahwa kedua karya itu bisa sangat otonom, dan pada kesempatan berikutnya berpotensi dapat saling memperkaya.
Kembali pada karya-karya Kyre, memang terasa paradoks. Bersumber dari pengalaman dirinya yang buram, karya-karya itu justru ditampilkan secara hingar-bingar, dengan ornamentasi yang riuh dengan warna-warna pastel cerah, dan lembut. Itulah yang saya singgung sejak awal dalam tulisan ini, yakni tentang racun, toksin, dan kemudian toksoid. Pengalaman buram itulah yang terakumulasi menjadi “racun”, yang berpotensi destruktif, baik yang terekspresikan dalam perilaku/tindakan, maupun yang tersimpan dalam kepala dan hatinya. Keduanya merupakan daya perusak yang efektif, dan sanggup menghancurkan (kepribadian, gaya hidup, karier, dll).
Racun harus dikeluarkan dari tubuh, setidaknya dijinakkan, atau dalam istilah kimia disebut detaksikasi, yakni proses membuat zat beracun menjadi tak berbahaya. Racun yang sudah di-detaksikasi  tidak lagi menjadi perusak. Dalam konteks proses kreatif Kyre,  gumpalan-gumpalan “racun” pada dirinya itu di-detaksikasi melalui corat-coret komik, gambar-gambar fantasi, yang akhirnya menjadi karya-karya lukisan. Pengalaman-pengalaman buram itu ditumpahkan melalui gambar. Di sana, di bidang gambar itu, Kyre masih bisa mengumpat, meledek, berguman, atau bergurau. Warna-warni yang meriah, dan bentuk-bentuk yang kartunal (deformasi, stilisasi, dan ornamentasi) merupakan bahan dan adonan yang efektif dalam prosesdetaksikasi, proses reduksi agar racun menjadi tawar. Tajuk “Evil of Rabbit Head” adalah ekspresi umpatan, ledekan, gumam, dan gurauannya.
“Setan Berkepala Kelinci” adalah pengalaman personal, bahkan merupakan personifikasi dirinya. Tajuk itu juga menyiratkan sikap paradoks; meski “setan”, tetapi kalau berkepala “kelinci” akan tereduksi wujud dan watak seramnya. Mungkin itulah yang akan dikatakan Kyre, bahwa dirinya tetap “manis, lucu, menggemaskan” bak “kelinci”, meski menyimpan nafsu setan. Semua kecenderungan “setan” dalam dirinya, ia taklukkan dengan kemasan yang menggemaskan. Perhatikan karya dengan judul “Between Luck, Faith, and Dangerous” (2010); yang menyimpan kemarahan, atau kisah tentang pertarungan hidup yang berbahaya. Namun toh karya ini tetap sedap dipandang mata. Juga karya “Trip of Trap” (2010); sebuah panorama surealistik, sang “setan berkepala kelinci” sedang mengendalikan ‘kereta bertanduk rusa’ (seperti cerita Sinterklas?) dengan seorang penumpang  ‘gadis berkacamata’ tengah melintasi langit, di atas ombak (seperti grafis klasik Hokusai?), terdapat bulan penuh, jembatan, dan bangunan kuil (seperti kisah Musashi?). Perjalanan menuju jebakan? Saya duga, kisah yang tersembunyi di balik karya ini cukup getir, tetapi tetap indah bukan? Bahkan mengingatkan pada banyak karya atau kisah yang lain? Atau karya “Hard Decision” (2010); seperti judulnya, kira-kira karya ini berkisah tentang keputusan-keputusan sulit, rumit, dan beresiko, yang harus diambil oleh Kyre. Tetapi, sekali lagi, karya ini tetap terasa jinak, disebabkan oleh bentuk dan warna-warnanya.
Saya ingin pula menyebut proses ini sebagai “estetisasi toksin”, yang di dalamnya tentu terjadi “toksoid”. Kyre berhasil “menjinakkan racun-racun” intangible; racun tak berwujud, tak teraba, tetapi sangat terasa (bagi dirinya). Karena itulah saya mengatakan pada Kyre, “kau beruntung punya kisah masa lalu yang pahit”.   
Suwarno Wisetrotomo
Kritikus Seni Rupa/Dosen di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta











the Alleys of a City Named Jogja

Curated By Jim Supangkat
Primo Marella Gallery Milano

One of Indonesian Contemporary Group Artist Exhibition in European Gallery.